Minggu, 31 Oktober 2010

Tulisan II

Obat Tanpa Label Harga

Labelisasi sangat penting agar masyarakat tidak tertipu dengan harga obat di pasaran.
Belum adanya informasi harga obat yang akuratdi pasaran membuat masyarakat berada dalam posisi tidak bisa memilih. Mereka hanya bisa pasrah dengan penentuan harga obat sepihak oleh apotek ataupun took obat tanpa mengetahui harga yang sebenarnya. Karenanya, seringkali mereka terpaksa membeli obat dengan harga yang lebih mahal dari yang seharusnya.
Bukan hanya harga, tidak adanya nama generik membuat masyarakat juga tidak bisa memilih obat dengan kandungan yang sama namun dengan harga yang lebih terjangkau. Padahal jika saja masyarakat mengetahui hal itu, tentu akan membuat masyarakat semakin cerdas dalam memahami kandungan obat. Implikasinya adalah mereka bisa memilih alternatif obat yang sama baik kandungannya namun dengan harga yang terjangkau.
Untuk mengatasi hal itu, awal Februari 2006 pemerintah mengeluarkan Permenkes No. 069/Menkes/SK/II/2006 tertanggal 7 Februari 2006, tentang kewajiban pencantuman label harga eceran tertinggi (HET), dan juga nama generik obat yang bersangkutan. Tujuannya, untuk memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat tentang harga obat sekaligus upaya untuk mencerdaskan masyarakat.
Sejak dikeluarka Februari lalu, pemerintah memberikan tenggang waktu enam bulan untuk proses sosialisasi sekaligus pemasangan label oleh produsen obat. Bahkan, toleransi waktu diberikan lagi hingga kahir Desember 2006, sebelum pemerintah menyatakan akan hendak menindak produsen yang belum memasang label HET dengan ancaman penarikan produk dari pasaran.
Sayangnya, meski tenggang waktu sudah habis, namun hingga hingga kini masih banyak produsen obat yang belum melakukan kewajibannya. Dan sekian banyak obat yang beredar di pasaran, sedikit sekali yang sudah memasang label HET dan nama generik dari produk yang dijualnya. Fakta ini terbukti dalam inspeksi mendadak yang digelar Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari, Selasa (9/1).
Dalam kunjungan mendadaknya, ke dua tempat yaitu apotek RS Cipto Mangunkusumo dan apotek Melawai di Jl. Matraman, Menkes menemukan hamper sebagian besar obat-obatan yang dijual belum mencantumkan label harga dan nama generiknya. Bukan hanya itu, Menkes juga menemukan fakta ada obat yang sudah mencantumkan label HET namun dijual di atas harga yang seharusnya.
Ini terjadi di apotek Melawai Matraman. Obat cacing merek Combantrin isi dua tablet produk Pfizer, dalam label HET tercantum harga jualnya adalah Rp 8.000. Namun, oleh apotek yang bersangkutan, obat ini dijual seharga Rp 8.200 atau Rp 200 lebih mahal daripada seharusnya.
Usai melakukan sidak, Menkes menyatakan kunjungan ini dilakukan untuk mengecek apakah apotek sudah mentaati aturan pemerintah terkait pemasangan label HET. “Labelisasi sangat penting agar masyarakat tidak tertipu dengan harga obat di pasaran.” Katanya. Pasalnya ungkap Menkes, saat ini pihaknya menemukan masih banyak obat yang belum mencantumkan label harga.
Selain itu, Menkes juga melihat masyarakat masih tenang-tenang saja dengan obat yang belum ada label harganya. “Mungkin karena mereka sudah merasakan harga obat sudah menjadi murah, sehingga tidak ribut ketika obat yang dijual belum ada labelnya,” jelasnya. Meski begitu, Menkes menyatakan ia tetap meminta agar setiap produsen memasang label harga demi kepentingan masyarakat banyak.

Sumber : Harian Republika, 10 Januari 2007, hal 22
Drs. Amin Widjaja Tunggal, Ak, MBA., 2008, Etika Bisnis (Suatu Pengantar),
Harvarindo, Jakarta.

Tulisan I

Lebih Separuh SPBU Curang

Jakarta – Tim Terpadu Pemantauan, Pengawasan, dan Pengendalian Dampak Kenaikan Harga serta Penyalahgunaan Penyediaan dan Pelayanan Bahan Bakar Minyak (Timdu BBM) menemukan lebih dari separuh atau tepatnya 52,53% Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU) milik PT. Pertamina (persero) terbukti melakukan kecurangan. Kecurangan dilakukan dengan cara sederhana hingga menggunakan alat pengendali jarak jauh (remote control)
Ketua Timdu BBM Slamet Singgih mengatakan, temuan tersebut didapat dar pengamatan sekitar 228 SPBU yang disidak PT Pertamina selama Januari – Juni 2006. Dari jumlah itu, 120 unit SPBU di antaranya diduga telah melakukan pelanggaran.
“Dari jumah itu, sebanyak 83 SPBU sudah dikenakan sanksi penghentian sementara pasokan antara 1 minggu sampai2 bulan. Sisanya masih dalam proses,” ujar Singgih dalam jumpa pers di Jakarta.
Total kerugian konsumen akibat kecurangan tersebut diperkirakan mencapai Rp 4,7 miliar. Kerugian terbanyak dari pembelian BBM jenis premium, yakni sebesar Rp 3,97 miliar.
Singgih mengatakan ke-228 SPBU yang disidak seluruhnya berada di Pulau Jawa. Pelanggaran terbanyak ditemukan di wilayah Unit Pemasaran (UPms) III Pertamina yang meliputi wilayah DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.
Sementara itu, anggota Komisi Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) DPR Bambang Wuryanto menganggap sanksi yang diberikan Pertamina tersebut sangat jauh dari maksimal. Ia menilai pelanggaran yang dilakukan SPBU itu sudah merupakan tindak pidana. Bambang menjelaskan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Misalnya, jenis BBM berupa premium dan solar itu masih diberikan subsidi. Artinya, anggaran Negara masih ada di dua jenis BBM tersebut.

Sumber : Koran Seputar Indonesia, 28 Juli 2006, hal 16
Drs. Amin Widjaja Tunggal, Ak, MBA., 2008, Etika Bisnis (Suatu Pengantar),
Harvarindo, Jakarta

Tugas I

Jamu China, 19 Merek Mengandung
Bahan Kimia Obat Berbahaya.

Bandar Lampung, Kompas – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM Lampung) menemukan 19 jamu dari China mengandung obat-obatan yang berbahaya. Masyarakat diminta mewaspadai dan tidak mempercayai iklan jamu-jamu yang mengandung kata “cespeng”.
Pengawas Farmasi dan Makanan BPOM Lampung Tri Suyanto, kamis (31/8), mengatakan iklan jamu yang memakai kata cespleng patut diwaspadai. Dari penelitian yang dilakukan, jamu-jamu tersebut ternyata mengandung bahan kimia obat (BKO) berbahaya.
Efek cespleng atau sembuh seketika, menurut Tri menunjukkan jamu tersebut mengandung zat kimia yang dosisnya tidak tepat. “Sering kali indikasi sembuh atau indikator zat kimia tersebut tidak dicantumkan dalam kemasan,” kata Tri.
Sementara itu jamu yang asli, kata Tri seharusnya mengandung bahan-bahan asli yang akan berefek atau bereaksi cukup lama terhadap tubuh atau proses penyembuhannya lebih perlahan dan bertahap.
Kesembilan belas jamu dari China tersebut sudah beredar di Lampung sejak tahun 2001. Peredarannya kini lebih banyak di toko-toko obat China. Jamu-jamu yang diindikasi berbahaya tersebut mengandung BKO, seperti asam mefenamat atau penghilang rasa sakit, prednisone, kafein, boraks, naphazolin, natrium klorida, dan fenilbutason.
Menurut Tri, kesembilan belas jamu berbahaya yang beredar tersebut diantaranya bermerek Shoalin, Gentian Rheumatism, Phostose, Oculentum Whole Brand, Pi Yen Chin, Osutilla Bainetini, Chui Fong Tou Ku Wan, Cartussin Cough, Ancom, dan Obat Shen Chu Cha.
“Semuanya produk dari China dan didatangkan langsung oleh pedagang atau pemilik took obat,” kata Tri. Untuk itu, masyarakat diminta berhati-hati dan tidak mudah terpengaruh oleh iklan jamu tersebut.

Sumber : Harian Kompas, 01 September 2006, hal 23.
Drs. Amin Widjaja Tunggal, Ak, MBA., 2008, Etika Bisnis (Suatu Pengantar),
Harvarindo, Jakarta.